Ini cuma celoteh saya aja mengiringi satu abad kebangkitan nasional yang biasa diperingati setiap tanggal 20 Mei. Kalo mau baca silahkan.... Hari itu 20 Mei 1908, Para pemuda Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan kedokteran di sekolah bentukan Pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan STOVIA, mendirikan sebuah Organisasi yang bernama Budi Utomo. Organisasi ini dibentuk karena kesadaran anak bangsa untuk merdeka, bebas belajar, berekspresi dan berkarya untuk bangsa dan rakyat yang saat itu tidak mampu melawan kehebatan Hindia Belanda.
Tidak terasa, kini sudah 100 tahun berlalu, semangat kebangkitan itu masih bergema, namun hanya beberapa gelintir orang yang mungkin mewarisi spirit dari para pendiri Budi Utomo, yang jumlahnya tidak banyak. 100 tahun berlalu, namun saat ini Bangsa kita belum merasakan apa yang dicita-citakan oleh Budi Utomo. Di alam sana mungkin mereka akan menyesal karena mereka terlalu cepat wafat, karena para penerus bangsa ini tidak bisa memaknai apa yang mereka perjuangkan. Saat ini banyak rakyat yang miskin, akibat kemiskinannya mereka tidak bisa sekolah, karena tidak sekolah mereka menjadi bodoh, karena bodoh mereka menjadi mudah dihasut, karena mudah dihasut mereka sering buat keributan dimana-mana. Ini adalah sebuah fenomena Snow Ball yang mulanya sepele tapi akhirnya menimbulkan masalah yang lingkupnya nasional.
100 tahun berlalu, namun kebebasan berekspresi dan berkarya belum terwujud. Ketika kita menyuarakan sebuah kebenaran maka akan ada orang yang tersinggung karena ternyata lebih banyak yang tidak benar ketimbang yang benar. Ketika kita sedikit saja mengkritik organisasi profesi kita, maka akan ada balasan kata-kata yang mungkin lebih pedas atau bahkan berujung pada pencekalan. Mungkin kita belum dewasa, belum bisa menerima kritikan dari orang lain yang sebenarnya sayang dengan kita. Jika mereka tidak sayang dengan kita, tidak mungkin ada langkah pembenahan yang disampaikan melalui kritik. Berapa banyak murid yang suatu ketika dikritik oleh gurunya bahkan dengan kata-kata yang lebih pedas. Apa sang murid membalasnya dengan kata-kata yang jauh lebih pedas? hampir semua murid menerima kritikan dari sang guru. Dengan kritik tadi, sang murid kemudian merubah cara belajarnya, merubah kebiasann buruknya. Suatu saat, sang murid kemudian ber evolusi dan menjelma menjadi pemimpin-pemimpin dunia, itu semua berkat kritikan yang merubah hidupnya.
100 tahun berlalu, cuma ilmu melihat yang kita gunakan, tapi tidak sekalipun kita gunakan ilmu mendengar. Kita sering melihat rakyat yang miskin, kelaparan, orang yang berdemo karena tidak suka dengan kebijakan yang kita buat, orang yang mengkritik kita karena mereka sayang dengan kita, tapi.... apakah kita menggunakan ilmu mendengar kita untuk mendengar apa sebenarnya keluhan si miskin, apa yang diinginkan oleh orang yang berdemo dan point-point penting yang disampaikan oleh pengkritik kita. Kita lebih suka untuk memberi tindakan untuk menghapus mereka dari pandangan dan pendengaran kita. Tapi apakah masalahnya selesai sampai disitu? orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita, yang bersebrangan dengan kita seharusnya dirangkul. Kita tidak pernah tahu potensi yang sebenarnya mereka miliki, jangan-jangan pada salah satu dari mereka kita dapatkan sebuah potensi dahsyat yang mampu merubah wajah bangsa ini.
100 tahun berlalu, masih ada orang yang suka menutup pintu kreatifitas orang lain dengan segala cara yang dimiliki. Ketika suatu saat saya di banned dari keanggotaan sebuah milist tanpa melalui proses diskusi, saya jadi bertanya dalam hati, beginikah cara orang-orang yang punya kuasa dalam menyelesaikan masalah? Saya jadi teringat ketika banyak orang-orang hebat di muka bumi ini mengemukakan sebuah pendapat yang menurut orang-orang yang berkuasa saat itu salah, langsung dihukum dengan berbagai cara. Copernicus, saat itu mengatakan bahwa bumi itu mengelilingi matahari sebagai pusat edarnya. Tapi karena bertentangan dengan pendapat orang-orang yang berkuasa saat itu, Copernicus menemui ajalnya di ujung Goulletine. Setelah berabad-abad lamanya ternyata pendapat Copernicus benar adanya. Bisa dibayangkan jika saat itu terjadi sebuah diskusi bukan hukuman, mungkin kita lebih mengenal bumi dan alam semesta ini sejak lama. Mungkin kita sudah menginjak bulan sejak lama, mungkin kita sudah menemukan planet alternatif selain bumi untuk kita diami. Semua itu hanya karena kita kurang menggunakan Ilmu mendengar kita.
100 tahun berlalu, semoga bangsa ini lebih cerdas dan bijak dalam menyelesaikan masalah, gunakan ilmu melihat dan yang paling penting gunakan ilmu mendengar.
regards,
nova
BERITA HARI INI, Powered By METRO TV
Satu Abad Kebangkitan Nasional
Diposting oleh Nova Rahman Jam 12:47
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar